Dijodohin mau aja? Nggak salah nih? Maklum, perjodohan identik ama beli kucing dalam karung. Apa benar? Sebagai seorang gadis gimana perasaanmu kalo dijodohin? “Dijodohin? Nggak enak lagi, enakan milih sendiri. Karena apa? Kita kan gak tau ’siapa dia’ yang bakal dijodohin ama kita. Jangankan ama yang dijodohin, ama yang hasil nyari sendiri aja kadang-kadang kita masih salah dalam menilai kok,” ujar Widyandaru. Tapi kalo yang dijodohin cakep, kenapa nggak? Hi..hi..just kidding,” cetusnya.
Setali tiga uang ama Widyandaru, Ayu Apriani komentar “Perjodohan buat aku adalah satu tradisi kuno yang udah basi di jaman ini. Logika aja, kita yang pacaran udah lama aja bisa putus, gimana yang baru kenal langsung merit?”
Pendapat sedikit bijak keluar dari mulut Hartanti. “Kalau mendengar kata dijodohkan kesannya memang kayak memaksa. Tapi yang namanya jodoh itu kan banyak cara buat ketemunya, salah satunya ya dijodohkan itu. Dijodohin kayak gimana pun kalau bukan jodoh pasti juga nggak bakalan jadi langgeng nantinya. Menurut aku orang nggak suka dijodohin mungkin karena orang yang dijodohkan sama kita itu ngga cocok sama kita. Tapi kalau cocok dan oke sih, siapa takut?” paparnya panjang lebar.
Sementara Irma, nggak menganggap buruk jika dijodohin ortu. “Kenapa nggak? Ortu kan lebih pengalaman dalam berumah tangga. Pasti mereka bakal nyariin yang terbaik buat kita. Asal caranya aja, jangan maksa,” tutur Pur yang masih pelajar abu-abu putih ini.
Tugas ortu vs hak anak
Sebagai anak perempuan yang masih jomblo, itu berarti kita masih berada dalam tanggungjawab ortu. Salah satu tugas orang tua adalah mencarikan jodoh buat anaknya dan mengantarkannya menuju gerbang pernikahan dengan pasangan yang terbaik. Jadi, kalo ada ortu yang berbaik hati mencarikan jodoh, jangan ditolak mentah-mentah. Mustinya kita bersyukur karena itu berarti sebetulnya ortu memahami tugasnya. Bangga dong punya ortu yang pengertian akan kebutuhan anaknya.
Terlebih jika kita sendiri udah ‘diburu’ waktu, sementara sang belahan jiwa nggak juga kunjung tiba, apa salahnya mencoba ‘menyeleksi’ para pria yang dikenalkan ortu pada kita. Siapa tahu ada yang cocok gitu loh. Kan enak, nggak usah repot-repot ‘berburu’ lelaki kayak cewek-cewek yang rebutan satu cowok di acara Joe Millionaire Indonesia itu. Jijay banget kan!
Apalagi sebagai MC (bukan Master of Ceremony, tepatnya Mak Comblang neh..) ortu tentunya lebih pengalaman soal memilih pasangan. Iya dong, mereka kan udah merit puluhan tahun dan sukses membesarkan kita, pasti punya pengalaman segudang soal memilih suami. Pepatah bilang, urusan bibit, bebet dan bobot ortu lebih tahu.
Yakin deh, Insya Allah ortu pasti memilihkan jodoh yang terbaik bagi anaknya. Hanya ortu yang nggak waras aja yang menjerumuskan anak gadisnya dengan menjodohkannya pada pria bejat. Tapi masalahnya, bagaimana jika kita nggak suka dengan pria yang ‘disodorkan’ nyokap and bokap? Misalnya karena kita belum kenal sama sekali dengan tuh cowok? Atau sekalipun kenal, tapi nggak sreg? Tenang, don’t worry be happy. Sebab sebagai anak, kita punya hak kok buat menolak keinginan ortu. Sebab, masalah pernikahan itu kan kita yang njalani, jadi itu termasuk hak anak untuk memutuskan: yes or no. Ini bukan berarti kita menentang atau malah durhaka pada ortu ya. Tetapi semata-mata sebagai wujud pelaksanaan hak perempuan. Cieeh.. catet!
Makanya, ortu juga kudu paham kedudukannya, bahwa mencarikan jodoh bagi anaknya sekadar menjalankan tugas sebagai ortu, dan bukan sebagai penentu. Keputusan tetap berada di tangan si anak. Maklum, soal perasaan ini kan nggak bisa dipaksakan. Gimana lagi, kalo emang nggak ada kecenderungan masak mau dipaksain? Ntar malah nggak enak buntutnya. Jadi sekali lagi, ortu nggak berhak maksa ke si anak agar bersedia menikah dengan pilihannya itu.
Yang pasti, agar antara pilihan ortu dan pilihan anak matching, keduanya kudu punya standar yang sama dalam memilih jodoh. Yang utama tentulah pertimbangan agama. Yup, cowok yang dijodohkan kudu sholeh, karena dia calon pemimpin rumah tangga yang akan menjamin terbentuknya keluarga sakinah. Kalo doi sendiri nggak sholeh, gimana mau membimbing anak dan istrinya?
Masalahnya, bagaimana jika orangnya sholeh tapi kita masih tetap ‘nggak ada rasa’? Yah, gimana lagi. Namanya perasaan memang nggak bisa dibohongi. Kalau emang udah shalat istikharah meminta petunjuk Allah Swt. dan tetap nggak sreg, nggak masalah nggak diterusin. Mungkin akan mengecewakan ortu, namun dengan penjelasan yang logis Insya Allah ortu bakal ngerti. Ortu harus legowo karena memang itu adalah hak anak. Namun perlu dicatat, kurang bijak rasanya jika menolak pria yang dikenal sholeh. Lagian kalo kita menerimanya, Insya Allah kita akan mendapatkan pahala karena menyenangkan hati orang tua. Yang pasti, diterimanya perjodohan bukan paksaan seperti imej yang berkembang, tapi kudu berdasar kerelaan kedua belah pihak.
Pacaran vs perjodohan
Kamu perlu tahu bahwa perjodohan yang dimaksud tentunya kudu Islami. Maksudnya nggak melanggar hukum syara’ gitu deh. Yang gimana tuh? Bahwa perjodohan kudu dilandasi akidah Islam. Maksudnya, menjodohkan anak agar kemudian menikah adalah dalam rangka menjalankan ajaran agama. Jangan sampai teracuni oleh landasan materi. Misalnya ortu yang maksain anaknya merit dengan laki-laki yang kebetulan anak orang kaya, padahal ia bukan laki-laki yang sholeh. Apalagi jika beda keyakinan.
Perjodohan juga diniatkan untuk khitbah (kemudian nikah), bukan terikat dalam tali pacaran. Khitbah adalah pernyataan resmi dari pria kepada wanita untuk memintanya menjadi calon isteri. Setelah dikhitbah, keduanya boleh saling mengenal, tentu dengan cara yang nggak melanggar syara’. Misal nggak khalwat (dua-duaan), nggak ngobrolin masalah yang ngeres, dll. Masa-masa khitbah sebelum merit inilah ajang pengenalan dan penjajakan mengenai pribadi masing-masing. Kalo selama khitbah terjadi ketidakcocokan dan ketidakmantapan untuk melanjutkan ke pernikahan, nggak masalah khitbah dibatalkan. Tentunya dengan berbagai pertimbangan.
So, salah besar kalo perjodohan itu identik ama beli kucing dalam karung. Sementara pacaran hanya aktivitas baku syahwat dengan dalih sebagai ajang penjajakan sebelum menikah. Di situ ada aktivitas yang melanggar syara’ seperti dua-duaan alias khalwat. Bukan pacaran kan namanya kalo perginya rame-rame? Trus, lebih banyak syahwat, mulai cara memandang, memegang tangan, bercumbu, dll (pokoknya syerem abis). Coba itung, banyakan mana aktivis pacaran yang akhirnya lanjut ke pernikahan dibanding bubaran? Kalo toh merit, biasanya karena didahului ‘kecelakaan’. Belum lagi setelah merit, nggak bertahan lama karena cintanya dah keburu digeber waktu pacaran. Oke deh semoga nggak keberatan dijodohin ya!
0 comments:
Post a Comment